Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa (2011).[7] Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa,[8] merupakan metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia.
Sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN. Jakarta dilayani oleh dua bandar udara, yakni Bandara Soekarno–Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma, serta satu pelabuhan laut di Tanjung Priok.
Jakarta (1942–Sekarang)
Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.[18]
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.
Sejarah Kota Jakarta
Berdasarkan penggalian arkeologi, terdapat bukti bahwa pemukiman pertama di Jakarta terdapat di tepi sungai Ciliwung. Pemukiman ini di duga berasal dari 2500 SM (Masa Neolothicum). Bukti tertulis pertama yang diketemukan adalah prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh Raja Tarumanegara pada abad ke-5. Prasasti merupakan bukti adanya kegiatan keagamaan pada masa itu. Pada masa berikutnya sekitar abad ke-12 daerah ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda dengan pelabuhannya yang terkenal pelabuhan Sunda Kelapa.
Pada masa inilah diadakan perjanjian perdagangan antara pihak Portugis dengan raja Sunda. Pada abad ke-17 perdagangan dengan pihak-pihak asing makin meluas, pelabuhan Sunda Kelapa berubah menjadi Jayakarta (1527) dan kemudian menjadi Batavia (1619). Tahun 1942 bangsa Jepang merebut kekuasaan dari tangan Belanda dan berkuasa di Indonesia sampai tahun 1945
fungsi
tempat untuk perwisataan dari jakarta yang pernah ada (kota kuno)
mari kita lihat nama-nama kota di provinsi DKI jakarta di bawahnya
_________________________♣MACAM-MACAM WISATA♣______________________
MONAS
Monas adalah istilah yang digunakan oleh media dalam laporannya mengenai serangan yang terjadi pada aksi yang dilakukan oleh "Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan" (AKKBB) di Monas pada 1 Juni 2008, tepat pada hari kelahiran Pancasila. Insiden ini bermula ketika AKKBB akan menggelar aksi di Monas, Jakarta, pada 1 Juni 2008 namun belum lama aksi dimulai, kumpulan masa AKKBB diserang oleh masa beratribut FPI. Massa FPI memukuli anggota Aliansi Kebangsaan dengan berbagai cara, anggota FPI tak berhenti menyerang mereka juga menghancurkan peralatan pengeras suara, merusak dan membakar spanduk. Tercatat 14 orang terluka dan sembilan di antaranya dirujuk ke rumah sakit.[1] Aksi yang sudah dikoordinasikan dengan polisi ini bubar tercerai berai, beberapa orang melarikan diri ke Galeri Nasional sembari mengajak wartawan untuk ikut menyelamatkan diri.[2] Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira membantah polisi telah melakukan pembiaran pada aksi yang dikawal polisi ini.
Munarman sebagai ketua Laskar Islam menyatakan bahwa penyerangan itu dilakukan karena aksi ini merupakan aksi kelompok pendukung Ahmadiyah, dan bukan untuk peringatan hari Pancasila. Munarman juga mengkoreksi pemberitaan media yang melibatkan FPI sebagai pelaku, dan menyatakan bahwa penyerangan itu dilakukan oleh Komando Laskar Islam. Ketua Forum Umat Muslim, Mashadi, juga menunjukkan video yang diklaim sebagai provokasi kepada pihak FPI dan menyebabkan FPI menyerang AKKBB. Video tersebut berisi gambar seorang peserta aksi yang diduga kelompok aliasnsi akan mengeluarkan senjata, namun tak jelas bentuknya.
sejarah
Setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta setelah sebelumnya berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Sukarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka. Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.
Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu.[1][2][3] Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961.
LIHAT PADA PETANYA
Lihat Peta Lebih Besar
____________________________________________________________________________________________________
ISTANA PRESIDEN
Istana
Presiden adalah tempat resmi kediaman dan kantor Presiden Indonesia
yang terletak satu kompleks dengan Istana Negara dan Bina Graha.
Letaknya menghadap ke Taman Monumen Nasional (Monas) Jalan Medan Merdeka
Utara, Jakarta.
Istana Presiden di sebut juga Istana Merdeka
Istana dengan luas sekitar 2.400 m² ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dalam kaveling yang sama dengan Istana Rijswijk yang mulai sesak. Awalnya bernama Istana Gambir, Istana yang diarsiteki Drossaers ini pada awal masa pemerintahan Republik Indonesia (RI) sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan kerajaan Belanda diwakili A.H.J. Lovink, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia.
Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan Bendera Indonesia dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata ketika bendera Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh kerajaan Belanda, pada 28 Desember 1949 Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan untuk pertama kalinya mendiami Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Istana Merdeka pertama kali diadakan pada 1950. Tercatat selain Presiden Sukarno, yang mendiami istana ini adalah Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Istana Merdeka dilihat dari atas
ussian-Indonesian talks in an extended format.
Kini Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, antara lain Peringatan Detik-detik Proklamasi, upacara penyambutan tamu negara, penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar negara sahabat, dan pelantikan perwira muda (TNI dan Polri).Mulai tahun 1975, perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia akan berpindah dari Istana Merdeka ke Monumen Nasional.
Istana Presiden di sebut juga Istana Merdeka
Istana dengan luas sekitar 2.400 m² ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dalam kaveling yang sama dengan Istana Rijswijk yang mulai sesak. Awalnya bernama Istana Gambir, Istana yang diarsiteki Drossaers ini pada awal masa pemerintahan Republik Indonesia (RI) sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan kerajaan Belanda diwakili A.H.J. Lovink, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia.
Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan Bendera Indonesia dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata ketika bendera Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh kerajaan Belanda, pada 28 Desember 1949 Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan untuk pertama kalinya mendiami Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Istana Merdeka pertama kali diadakan pada 1950. Tercatat selain Presiden Sukarno, yang mendiami istana ini adalah Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Istana Merdeka dilihat dari atas
ussian-Indonesian talks in an extended format.
Kini Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, antara lain Peringatan Detik-detik Proklamasi, upacara penyambutan tamu negara, penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar negara sahabat, dan pelantikan perwira muda (TNI dan Polri).Mulai tahun 1975, perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia akan berpindah dari Istana Merdeka ke Monumen Nasional.
SEJARAH
Istana Negara dibangun tahun 1796 untuk kediaman pribadi seorang
warga negara Belanda J.A van Braam. Pada tahun 1816 bangunan ini diambil
alih oleh pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai pusat
kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jendral Belanda.
Karenanya pada masa itu istana ini disebut juga sebagai Hotel Gubernur
Jendral.
Pada mulanya bangunan yang berarsitektur gaya Yunani kuno itu bertingkat dua, namun pada tahun 1848 bagian atasnya dibongkar, dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang, tanpa perubahan yang berarti. Luas bangunan ini lebih kurang 3.375 meter persegi.
Sesuai dengan fungsi istana ini, pajangan serta hiasannya cenderung memberi suasana sangat resmi. Bahkan kharismatik. Ada dua buah cermin besar peninggalan pemerintah Belanda, disamping hiasan dinding karya pelukis - pelukis besar, seperti Basoeki Abdoellah.
Banyak peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara. Diantaranya ialah ketika Jendral de Kock menguraikan rencananya kepada Gubernur Jendral Baron van der Capellen untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol. Juga saat Gubernur Jendral Johannes van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel. Setelah kemerdekaan, tanggal 25 Maret 1947, di gedung ini terjadi penandatanganan naskah persetujuan Linggarjati. Pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Dr. Van Mook.
Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, diantaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara - acara yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat - pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.
Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih kurang 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Negara sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan Negara.
________________________________________________________________________________
TAMAN MINI INDONESIA INDAH (TMII)
Taman
Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan suatu kawasan taman wisata
bertema budaya Indonesia di Jakarta Timur. Area seluas kurang lebih 150
hektare[1] atau 1,5 kilometer persegi ini terletak pada koordinat
6°18'6.8?LS,106°53'47.2?BT. Taman ini merupakan rangkuman kebudayaan
bangsa Indonesia, yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari
masyarakat 26 provinsi Indonesia (pada tahun 1975) yang ditampilkan
dalam anjungan daerah berarsitektur tradisional, seta menampilkan aneka
busana, tarian, dan tradisi daerah. Di samping itu, di tengah-tengah
TMII terdapat sebuah danau yang menggambarkan miniatur kepulauan
Indonesia di tengahnya, kereta gantung, berbagai museum, dan Teater IMAX
Keong Mas dan Teater Tanah Airku), berbagai sarana rekreasi ini
menjadikan TMIII sebagai salah satu kawasan wisata terkemuka di ibu
kota.
SEJARAH
TMII mulai dibangun tahun 1972 dan diresmikan pada tanggal 20 April 1975. Berbagai aspek kekayaan alam dan budaya Indonesia sampai pemanfaatan teknologi modern diperagakan di areal seluas 150 hektare. Aslinya topografi TMII agak berbukit, tetapi ini sesuai dengan keinginan perancangnya. Tim perancang memanfaatkan ketinggian tanah yang tidak rata ini untuk menciptakan bentang alam dan lansekap yang kaya, menggambarkan berbagai jenis lingkungan hidup di Indonesia.[2]
LIHAT PETA
MUSEUM FATAHILLA
Museum
Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum
Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah
No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
SEJARAH
Pada
tahun 1937, Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan
sebuah museum mengenai sejarah Batavia, yayasan tersebut kemudian
membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang terletak di sebelah
timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 (kini museum
Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia. Museum
Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.
Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama'’ diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah Jakarta sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekedar tempat untuk merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi tempat bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Museum Sejarah Jakarta berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih rekreatif. Selain itu, melalui tata pamernya Museum Sejarah Jakarta berusaha menggambarkan “Jakarta Sebagai Pusat Pertemuan Budaya” dari berbagai kelompok suku baik dari dalam maupun dari luar Indonesia dan sejarah kota Jakarta seutuhnya. Museum Sejarah Jakarta juga selalu berusaha menyelenggarakan kegiatan yang rekreatif sehingga dapat merangasang pengunjung untuk tertarik kepada Jakarta dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya.
Sejarah Gedung
Gedung Museum Sejarah Jakarta mulai dibangun pada tahun 1620 oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sebagai gedung balai kota kedua pada tahun 1626 (balai kota pertama dibangun pada tahun 1620 di dekat Kalibesar Timur). Menurut catatan sejarah, gedung ini hanya bertingkat satu dan pembangunan tingkat kedua dilakukan kemudian. Tahun 1648 kondisi gedung sangat buruk. Tanah Jakarta yang sangat labil dan beratnya gedung menyebabkan bangunan ini turun dari permukaan tanah. Solusi mudah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah tidak mengubah pondasi yang sudah ada, tetapi menaikkan lantai sekitar 2 kaki (56 cm). Menurut suatu laporan 5 buah sel yang berada di bawah gedung dibangun pada tahun 1649. Tahun 1665 gedung utama diperlebar dengan menambah masing-masing satu ruangan di bagian Barat dan Timur. Setelah itu beberapa perbaikan dan perubahan di gedung stadhuis dan penjara-penjaranya terus dilakukan hingga menjadi bentuk yang kita lihat sekarang ini.
Selain digunakan sebagai stadhuis, gedung ini juga digunakan sebagai ‘’Raad van Justitie'’ (dewan pengadilan). Pada tahun 1925-1942, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 gedung ini menjadi markas Komando Militer Kota (KMK) I, lalu diubah kembali menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat. Tahun 1968, gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta, lalu diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Seperti umumnya di Eropa, gedung balaikota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan ‘’stadhuisplein'’. Menurut sebuah lukisan uang dibuat oleh pegawai VOC ‘'’Johannes Rach”’ yang berasal dari ‘'’Denmark”’, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju stadhuiplein. Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah. Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu ‘'’Taman Fatahillah”’ untuk mengenang panglima
Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama'’ diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah Jakarta sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekedar tempat untuk merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi tempat bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Museum Sejarah Jakarta berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih rekreatif. Selain itu, melalui tata pamernya Museum Sejarah Jakarta berusaha menggambarkan “Jakarta Sebagai Pusat Pertemuan Budaya” dari berbagai kelompok suku baik dari dalam maupun dari luar Indonesia dan sejarah kota Jakarta seutuhnya. Museum Sejarah Jakarta juga selalu berusaha menyelenggarakan kegiatan yang rekreatif sehingga dapat merangasang pengunjung untuk tertarik kepada Jakarta dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya.
Sejarah Gedung
Gedung Museum Sejarah Jakarta mulai dibangun pada tahun 1620 oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sebagai gedung balai kota kedua pada tahun 1626 (balai kota pertama dibangun pada tahun 1620 di dekat Kalibesar Timur). Menurut catatan sejarah, gedung ini hanya bertingkat satu dan pembangunan tingkat kedua dilakukan kemudian. Tahun 1648 kondisi gedung sangat buruk. Tanah Jakarta yang sangat labil dan beratnya gedung menyebabkan bangunan ini turun dari permukaan tanah. Solusi mudah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah tidak mengubah pondasi yang sudah ada, tetapi menaikkan lantai sekitar 2 kaki (56 cm). Menurut suatu laporan 5 buah sel yang berada di bawah gedung dibangun pada tahun 1649. Tahun 1665 gedung utama diperlebar dengan menambah masing-masing satu ruangan di bagian Barat dan Timur. Setelah itu beberapa perbaikan dan perubahan di gedung stadhuis dan penjara-penjaranya terus dilakukan hingga menjadi bentuk yang kita lihat sekarang ini.
Selain digunakan sebagai stadhuis, gedung ini juga digunakan sebagai ‘’Raad van Justitie'’ (dewan pengadilan). Pada tahun 1925-1942, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 gedung ini menjadi markas Komando Militer Kota (KMK) I, lalu diubah kembali menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat. Tahun 1968, gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta, lalu diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Seperti umumnya di Eropa, gedung balaikota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan ‘’stadhuisplein'’. Menurut sebuah lukisan uang dibuat oleh pegawai VOC ‘'’Johannes Rach”’ yang berasal dari ‘'’Denmark”’, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju stadhuiplein. Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah. Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu ‘'’Taman Fatahillah”’ untuk mengenang panglima
Fatahillah pendiri kota Jakarta.
________________________________________
TAMAN IMPIAN JAYA ANCOL (Dufan)
Taman Impian Jaya Ancol merupakan sebuah objek wisata di Jakarta Utara.
Sebagai komunitas pembaharuan kehidupan masyarakat yang menjadi
kebanggaan bangsa. Senantiasa menciptakan lingkungan sosial yang lebih
baik melalui sajian hiburan berkualitas yang berunsur seni, budaya dan
pengetahuan, dalam rangka mewujudkan komunitas 'Life Re-Creation' yang
menjadi kebanggaan bangsa.
SEJARAH
Sejalan dengan perkembangan perusahaan yang semakin meningkat pada tahun 1992 status Badan Pelaksana Pembangunan (BPP) Proyek Ancol diubah menjadi PT Pembangunan Jaya Ancol sesuai dengan akta perubahan No. 33 tanggal 10 Juli 1992 sehingga terjadi perubahan kepemilikan dan prosentase kepemilikan saham, yakni 20% dimiliki oleh PT Pembangunan Jaya dan 80% dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta.
Pada 2 Juli 2004 Ancol melakukan “go public” dan mengganti statusnya menjadi PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., dengan kepemilikan saham 72% oleh Pemda DKI Jakarta dan 18% oleh PT Pembangunan Jaya dan 10% oleh masyarakat. Langkah “go public” ini dilakukan untuk lebih meningkatkan kinerja perusahaan, karena akan lebih terkontrol, terukur, efisien dan efektif dengan tingkat profesionalisme yang tinggi serta menciptakan sebuah Good & Clean Governance. Kinerja dan citra yang positif ini akan menjadikan perusahaan terus tumbuh dan berkembang secara sehat pada masa depan. PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk juga melakukan upaya repositioning dengan diluncurkannya logo Ancol yang baru pada 10 Juli 2005. Perubahan tersebut tidak semata mengganti logo perusahaan, tetapi juga untuk memacu semangat dan budaya perusahaan secara keseluruhan.
____________________________________________________________________________
TAMAN ISMAIL
Pusat
Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki yang populer disebut Taman Ismail
Marzuki (TIM) merupakan sebuah pusat kesenian dan kebudayaan yang
berlokasi di jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Di sini terletak
Institut Kesenian Jakarta dan Planetarium Jakarta. Selain itu, TIM juga
memiliki enam teater modern, balai pameran, galeri, gedung arsip, dan
bioskop.
Acara-acara seni dan budaya dipertunjukkan secara rutin di pusat kesenian ini, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan dan pertunjukan film. Berbagai jenis kesenian tradisional dan kontemporer, baik yang merupakan tradisi asli Indonesia maupun dari luar negeri juga dapat ditemukan di tempat ini.
Nama pusat kesenian ini berasal dari nama pencipta lagu terkenal Indonesia, Ismail Marzuki.
Acara-acara seni dan budaya dipertunjukkan secara rutin di pusat kesenian ini, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan dan pertunjukan film. Berbagai jenis kesenian tradisional dan kontemporer, baik yang merupakan tradisi asli Indonesia maupun dari luar negeri juga dapat ditemukan di tempat ini.
Nama pusat kesenian ini berasal dari nama pencipta lagu terkenal Indonesia, Ismail Marzuki.
SEJARAH
Diresmikan
pembukaannya oleh Gubernur Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta
Jenderal Marinir Ali Sadikin, tanggal 10 November 1968. TIM dibangun di
atas areal tanah seluas sembilan hektar. Dulu tempat ini dikenal sebagai
ruang rekreasi umum ‘Taman Raden Saleh’ (TRS) yang merupakan Kebun
Binatang Jakarta sebelum dipindahkan ke Ragunan. Pengunjung ‘TRS’ selain
dapat menikmati kesejukan paru-paru kota dan melihat sejumlah hewan,
juga bisa nonton balap anjing di lintasan ‘Balap Anjing’ yang kini
berubah menjadi kantor dan ruang kuliah mahasiswa fakultas perfilman dan
televisi IKJ. Ada juga lapangan bermain sepatu roda berlantai semen.
Fasilitas lainnya ialah dua gedung bioskop, Garden Hall dan Podium
melengkapi suasana hiburan malam bagi warga yang suka nonton film.
Tetapi sejak 37 tahun lalu suasana seperti itu tidak lagi dapat
ditemukan. Khususnya setelah Bang Ali menyulap tempat ini menjadi Pusat
Kesenian Jakarta TIM.
Lihat Peta Lebih Besar
___________________________________________________________________________________________________
PRJ(Pekan Raya Jakarta)
Pekan
Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair adalah pameran tahunan terbesar di
Indonesia. Walaupun dinamai "pekan", biasanya berlangsung selama satu
bulan penuh dari pertengahan Juni sampai pertengahan Juli untuk
memperingati hari jadi kota Jakarta.
PRJ pertama diadakan pada tahun 1968. Sampai saat ini setiap tahun penyelenggaraannya tidak pernah terputus. Dari 1968 sampai 1991 PRJ pernah berlangsung di Taman Monumen Nasional.
PRJ pertama diadakan pada tahun 1968. Sampai saat ini setiap tahun penyelenggaraannya tidak pernah terputus. Dari 1968 sampai 1991 PRJ pernah berlangsung di Taman Monumen Nasional.
SEJARAH
Pekan
Raya Jakarta (PRJ) digelar pertama kali di Kawasan Monas tanggal 5 Juni
hingga 20 Juli tahun 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto dengan
melepas merpati pos. PRJ pertama ini disebut DF yang merupakan singkatan
dari Djakarta Fair (Ejaan Lama). Lambat laun ejaan tersebut berubah
menjadi Jakarta Fair yang kemudian lebih popular dengan sebutan Pekan
Raya Jakarta.
Idenya muncul atau digagas pertama kali oleh Syamsudin Mangan yang lebih dikenal dengan nama Haji Mangan pada saat itu menjabat sebagai Ketua KADIN (Kamar Dagang dan Industri) yang mengusulkan suatu ajang pameran besar untuk meningkatkan pemasaran produksi dalam negeri yang kala itu sedang mulai bangkit pasca G30S/1965 kepada Gubernur DKI yang dijabat oleh Ali Sadikin atau yang lebih dikenal oleh Bang Ali pada tahun 1967. Gagasan atau ide ini disambut baik oleh Pemerintah DKI, karena Pemerintah DKI juga ingin membuat suatu pameran besar yang terpusat dan berlangsung dalam waktu yang lama sebagai upaya mewujudkan keinginan Pemerintah DKI yang ingin menyatukan berbagai "pasar malam" yang ketika itu masih menyebar di sejumlah wilayah Jakarta,seperti Pasar Malam Gambir yang tiap tahun berlangsung di bekas Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), juga merupakan inspirasi dari Pameran yang diklaim sebagai "Pameran Terbesar" ini.
Haji Mangan terinspirasi dari berbagai event pameran internasional yang sering diikutinya sebagai seorang konglomerat dibidang tekstil di kala itu serta Pasar Malam Gambir yang dari dulunya sudah ramai dikunjungi. Ide ini disambut baik Pemerintah DKI dengan membuat gebrakan dengan langsung membentuk panitia sementara yang dipercayakan kepada Kamar Dagang dan Industri (Kadin)yang ketunya dijabat oleh Haji Mangan.
Agar lebih sah atau resmi, Pemerintah DKI mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) no. 8 tahun 1968 yang antara lain menetapkan bahwa PRJ akan menjadi agenda tetap tahunan dan diselenggarakan menjelang Hari Ulang Tahun Jakarta yang dirayakan setiap tanggal 22 Juni.
Sebuah yayasan yang diberikan nama Yayasan Penyelenggara Pameran dan Pekan Raya Jakarta juga dibentuk sebagai badan pengelola PRJ. Sesuai Perda no. 8/1968 tersebut tugas yayasan ini bukan hanya menyelenggarakan PRJ saja tetapi juga sebagai penyelenggara Arena promosi dan Hiburan Jakarta (APHJ) yang dijadwalkan berlangsung sepanjang tahun.
Syamsudin Mangan, Ketua Kadin Indonesia ketika itu dinilai berjasa dalam menyelenggarakan Pekan Raya Jakarta yang mengubah wajah Pasar Malam Gambir yang kemudian terkenal dengan Djakarta Fair yang "bermutasi" menjadi Jakarta Fair atau lebih dikenal dengan Pekan Raya Jakarta. Karena kegigihan Syamsuddin Mangan Djakarta Fair mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sayang, sebelum melihat ide dan gagasannya terwujud Syamsuddin Mangan dipanggil yang Kuasa.
PRJ 1968 atau DF 68 berlangsung mulus dan boleh dikatakan sukses. Mega perhelatan ini mampu menyedot pengunjung tidak kurang dari 1,4 juta orang. Fantastis! Acara yang digelar pun unik. Kala itu digelar pemilihan Ratu Waria. Yang ikut 151 peserta dan boleh dikatakan cukup banyak kala itu.
PRH 1969 atau DF 69 "memecahkan" rekor penyelenggaran PRJ terlama karena memakan waktu penyelenggaraan 71 hari. PRJ pada umumnya berlangsung 30 - 35 hari. Bahkan Presiden AS pada waktu itu Richard Nixon datang ke Indonesia , sempat mampir ke DF 69. Ia berhenti disebuah stan dekat Syamsuddin Mangan Plaza , sempat melambai-lambaikan tangannya ke pengunjung dan karyawan DF 69.
Penyelenggaraan PRJ atau Jakarta Fair ini, dari tahun ke tahun mulai mengalami perkembangan pengunjung dan pesertanya bertambah dan bertambah. Dari sekedar pasar malam, "bermutasi" menjadi ajang pameran Modern yang menampilkan berbagai produk. Areal yang dipakai juga bertambah. Dari hanya tujuh hektar di Kawasan Monas kini semenjak tahun 1992 dipindah ke Kawasan Kemayoran Jakarta Pusat yang menempati area seluas 44 hektar.
Jakarta Fair Kemayoran 2011 (JFK 2011) menampilkan produk dalam negeri, baik berskala besar, menengah, kecil dan koperasi dari seluruh Indonesia, terselenggara Jakarta Fair untuk ke-44 kalinya bertepatan dengan HUT Kota Jakarta Ke-484.
JFK 2011 kali ini bertema “Jakarta Fair Turut Mempercepat Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia” dengan sub tema “Melalui Kegiatan Jakarta Fair Mengajak Seluruh Warga Bangsa Fokus Pada Perbaikan Iklim Investasi, Perluasan Lapangan Kerja, Memajukan Kesejahteraan Rakyat, dan Perkuat Daya Saing Indonesia di Pasar Dunia.”
Secara garis besar panitia mengharapkan event ini menjadi pembangkit semangat promosi produk dalam negeri, selanjutnya meningkatkan lapangan kerja dan secara tidak langsung meningkatkan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Shuttle Bus secara gratis disediakan selama masa buka pameran dari Parkir IRTI Monas (seberang Kantor Gubernur DKI Jakarta) diperkirakan berangkat setiap 30 menit sekali.
Wisata dan belanja merupakan gabungan yang bisa dilakukan bagi jutaan pengunjung baik dari Jabodetabek, dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, maupun pengunjung dari manca-negara, sehingga acara ini diharapkan bisa menjadi wahana belanja sekaligus wisata.
JFK 2011 diikuti 2.600 perusahaan dengan 1.300 stand, termasuk BUMN, hampir seluruh provinsi di Indonesia. Perkiraan akan dihadiri 4 juta orang selama 32 hari, atau 125 ribu pengunjung per hari. Target nilai transaksi selama pameran sebesar Rp. 3,5 trilyun.
Seperti tahun-tahun sebelumnya Jakarta Fair kali ini juga akan dimeriahkan oleh Pentas Musik 32 Hari Nonstop, dengan 100 group band top ibukota, Pesta Kembang Api Spektakuler, Malam Muda Mudi, Pemilihan Miss Jakarta Fair, Panggung Kesenian di Taman Budaya, Karnaval, berbagai promosi menarik di stand-stand pameran, dan undian berhadiah mobil dan sepeda motor.
Berbagai produk unggulan dalam negeri serta hasil produksi industri kecil, UKM, dan koperasi akan dipamerkan dalam event pameran terbesar di Asia Tenggara ini. Ada produk furniture, interior, building material, otomotif, handycraft, garment, sport & health, telekomunikasi, banking, stationary, komputer & elektronik, property, kosmetik, food & drink, handphone, mainan anak-anak, sepatu, branded fashion, leather, branded product, multi-product, jasa dan produk BUMN, produk kreatif, dan berbagai produk unggulan lainnya.
_____________________________________TERIMA KASIH____________________________
Idenya muncul atau digagas pertama kali oleh Syamsudin Mangan yang lebih dikenal dengan nama Haji Mangan pada saat itu menjabat sebagai Ketua KADIN (Kamar Dagang dan Industri) yang mengusulkan suatu ajang pameran besar untuk meningkatkan pemasaran produksi dalam negeri yang kala itu sedang mulai bangkit pasca G30S/1965 kepada Gubernur DKI yang dijabat oleh Ali Sadikin atau yang lebih dikenal oleh Bang Ali pada tahun 1967. Gagasan atau ide ini disambut baik oleh Pemerintah DKI, karena Pemerintah DKI juga ingin membuat suatu pameran besar yang terpusat dan berlangsung dalam waktu yang lama sebagai upaya mewujudkan keinginan Pemerintah DKI yang ingin menyatukan berbagai "pasar malam" yang ketika itu masih menyebar di sejumlah wilayah Jakarta,seperti Pasar Malam Gambir yang tiap tahun berlangsung di bekas Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), juga merupakan inspirasi dari Pameran yang diklaim sebagai "Pameran Terbesar" ini.
Haji Mangan terinspirasi dari berbagai event pameran internasional yang sering diikutinya sebagai seorang konglomerat dibidang tekstil di kala itu serta Pasar Malam Gambir yang dari dulunya sudah ramai dikunjungi. Ide ini disambut baik Pemerintah DKI dengan membuat gebrakan dengan langsung membentuk panitia sementara yang dipercayakan kepada Kamar Dagang dan Industri (Kadin)yang ketunya dijabat oleh Haji Mangan.
Agar lebih sah atau resmi, Pemerintah DKI mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) no. 8 tahun 1968 yang antara lain menetapkan bahwa PRJ akan menjadi agenda tetap tahunan dan diselenggarakan menjelang Hari Ulang Tahun Jakarta yang dirayakan setiap tanggal 22 Juni.
Sebuah yayasan yang diberikan nama Yayasan Penyelenggara Pameran dan Pekan Raya Jakarta juga dibentuk sebagai badan pengelola PRJ. Sesuai Perda no. 8/1968 tersebut tugas yayasan ini bukan hanya menyelenggarakan PRJ saja tetapi juga sebagai penyelenggara Arena promosi dan Hiburan Jakarta (APHJ) yang dijadwalkan berlangsung sepanjang tahun.
Syamsudin Mangan, Ketua Kadin Indonesia ketika itu dinilai berjasa dalam menyelenggarakan Pekan Raya Jakarta yang mengubah wajah Pasar Malam Gambir yang kemudian terkenal dengan Djakarta Fair yang "bermutasi" menjadi Jakarta Fair atau lebih dikenal dengan Pekan Raya Jakarta. Karena kegigihan Syamsuddin Mangan Djakarta Fair mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sayang, sebelum melihat ide dan gagasannya terwujud Syamsuddin Mangan dipanggil yang Kuasa.
PRJ 1968 atau DF 68 berlangsung mulus dan boleh dikatakan sukses. Mega perhelatan ini mampu menyedot pengunjung tidak kurang dari 1,4 juta orang. Fantastis! Acara yang digelar pun unik. Kala itu digelar pemilihan Ratu Waria. Yang ikut 151 peserta dan boleh dikatakan cukup banyak kala itu.
PRH 1969 atau DF 69 "memecahkan" rekor penyelenggaran PRJ terlama karena memakan waktu penyelenggaraan 71 hari. PRJ pada umumnya berlangsung 30 - 35 hari. Bahkan Presiden AS pada waktu itu Richard Nixon datang ke Indonesia , sempat mampir ke DF 69. Ia berhenti disebuah stan dekat Syamsuddin Mangan Plaza , sempat melambai-lambaikan tangannya ke pengunjung dan karyawan DF 69.
Penyelenggaraan PRJ atau Jakarta Fair ini, dari tahun ke tahun mulai mengalami perkembangan pengunjung dan pesertanya bertambah dan bertambah. Dari sekedar pasar malam, "bermutasi" menjadi ajang pameran Modern yang menampilkan berbagai produk. Areal yang dipakai juga bertambah. Dari hanya tujuh hektar di Kawasan Monas kini semenjak tahun 1992 dipindah ke Kawasan Kemayoran Jakarta Pusat yang menempati area seluas 44 hektar.
Jakarta Fair Kemayoran 2011 (JFK 2011) menampilkan produk dalam negeri, baik berskala besar, menengah, kecil dan koperasi dari seluruh Indonesia, terselenggara Jakarta Fair untuk ke-44 kalinya bertepatan dengan HUT Kota Jakarta Ke-484.
JFK 2011 kali ini bertema “Jakarta Fair Turut Mempercepat Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia” dengan sub tema “Melalui Kegiatan Jakarta Fair Mengajak Seluruh Warga Bangsa Fokus Pada Perbaikan Iklim Investasi, Perluasan Lapangan Kerja, Memajukan Kesejahteraan Rakyat, dan Perkuat Daya Saing Indonesia di Pasar Dunia.”
Secara garis besar panitia mengharapkan event ini menjadi pembangkit semangat promosi produk dalam negeri, selanjutnya meningkatkan lapangan kerja dan secara tidak langsung meningkatkan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Shuttle Bus secara gratis disediakan selama masa buka pameran dari Parkir IRTI Monas (seberang Kantor Gubernur DKI Jakarta) diperkirakan berangkat setiap 30 menit sekali.
Wisata dan belanja merupakan gabungan yang bisa dilakukan bagi jutaan pengunjung baik dari Jabodetabek, dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, maupun pengunjung dari manca-negara, sehingga acara ini diharapkan bisa menjadi wahana belanja sekaligus wisata.
JFK 2011 diikuti 2.600 perusahaan dengan 1.300 stand, termasuk BUMN, hampir seluruh provinsi di Indonesia. Perkiraan akan dihadiri 4 juta orang selama 32 hari, atau 125 ribu pengunjung per hari. Target nilai transaksi selama pameran sebesar Rp. 3,5 trilyun.
Seperti tahun-tahun sebelumnya Jakarta Fair kali ini juga akan dimeriahkan oleh Pentas Musik 32 Hari Nonstop, dengan 100 group band top ibukota, Pesta Kembang Api Spektakuler, Malam Muda Mudi, Pemilihan Miss Jakarta Fair, Panggung Kesenian di Taman Budaya, Karnaval, berbagai promosi menarik di stand-stand pameran, dan undian berhadiah mobil dan sepeda motor.
Berbagai produk unggulan dalam negeri serta hasil produksi industri kecil, UKM, dan koperasi akan dipamerkan dalam event pameran terbesar di Asia Tenggara ini. Ada produk furniture, interior, building material, otomotif, handycraft, garment, sport & health, telekomunikasi, banking, stationary, komputer & elektronik, property, kosmetik, food & drink, handphone, mainan anak-anak, sepatu, branded fashion, leather, branded product, multi-product, jasa dan produk BUMN, produk kreatif, dan berbagai produk unggulan lainnya.
DAN MASIH BANYAK SEKALI DI JAKARTA
_____________________________________TERIMA KASIH____________________________